Ida Ayu Nyoman Rai lahir sekitar tahun 1881
sebagai anak kedua dari pasangan Nyoman Pasek dan Ni Made Liran. Sewaktu
kecil orang tuanya memberi nama panggilan “Srimben”, yang mengandung arti
limpahan rezeki yang membawa kebahagiaan dari Bhatari Sri. Semasa remaja di
Banjar Bale Agung, Nyoman Rai Srimben bersahabat dengan Made Lastri yang
kemudian mengenalkannya dengan seorang guru Jawa pendatang bernama R.
Soekeni. R. Soekeni akhirnya berhasil membawa lari Nyoman Rai Srimben untuk
bersatu menempuh hidup baru dengan perjuangan yang hampir melewati
pertumpahan darah. Mereka resmi menikah pada tanggal 15 Juni 1887. Putri
pertamanya, Raden Soekarmini (kelak dikenal sebagai Bu Wardoyo) lahir pada
tanggal 29 Maret 1898 dan kemudian berpindah ke Surabaya. Di Surabaya inilah
pada tanggal 6 Juni 1901 Nyoman Rai Srimben melahirkan “Putera Sang Fajar”
atau Soekarno di sebuah rumah kampong sederhana di sekitar Makam Belanda
kampong Pandean III Surabaya. Nyoman Rai Srimben mendidik kedua anaknya
dengan bekal spiritual Hindu seperti yang pernah dipelajarinya. Enam bulan
kemudian Nyoman Rai Srimben harus mengikuti suaminya untuk pindah ke kota
kecil kecamatan Ploso (Jombang) dan disinilah ia mengalami penderitaan yang
luar biasa karena kedua anaknya sering sakit-sakitan. Karena faktor kesehatan
pula, Nyoman Rai Srimben sempat berpisah dengan Soekarno untuk dirawat dan
diasuh oleh mertuanya di Tulung Agung. Namun akhirnya Soekarno dapat diasuh
kembali ketika ia harus mengikuti suaminya pindah ke Mojokerto. Di Mojokerto
pula putri sulungnya menikah dan kemudian tinggal bersama suaminya. Nyoman
Rai Srimben sangat bersedih karena harus berpisah dengan anaknya, sebagai
pelipur lara ia memfokuskan diri dengan melimpahkan kasih sayangnya kepada
Soekarno. Persoalan muncul ketika Srimben dihadapkan pada kepindahan suaminya
ke Blitar sekaligus menghadapi kenyataan Soekarno untuk sekolah di Surabaya.
Akhirnya ia mengikuti kepindahan suaminya ke Blitar dan Soekarno dititipkan
di rumah HOS Cokroaminoto untuk meneruskan sekolah di Surabaya. Di Blitar,
Nyoman Rai Srimben tinggal di asrama sekolah yang sekarang menjadi Sekolah
Menengah Umum I Blitar dan dipercaya untuk mengelola asrama sekaligus
mengurus makan para pelajar yang tinggal di asrama tersebut. Peristiwa yang
paling mengharukan di Blitar adalah saat menikahkan Soekarno dengan Utari
putri HOS Cokroaminoto namun kemudian Soekarno mohon untuk menceraikan Utari.
Perasaan hancur dan sekaligus terharu menyelimuti hati Nyoman Rai Srimben,
namun dirinya hanya bisa berkata “pilihlah jalan yang terbaik, dan kalau itu
niatmu, silahkan jalani dengan baik”. Rasa terharu kembali terulang ketika di
Bandung, putranya Soekarno menulis surat bahwa dirinya akan menikah dengan
seorang janda bernama Inggit Ganarsih. Permasalahan lain yang menjadi suka
duka adalah berita tentang ditahannya Soekarno di Penjara Sukamiskin Bandung.
Nyoman Rai Srimben langsung menuju Bandung dan mendatangi Penjara Sukamiskin
dan karena ia buta politik dirinya langsung bertanya kepada petugas rumah
tahanan. Bukan jawaban yang diperolehnya melainkan bentakan dan diusir untuk
pergi dari rumah tahanan tersebut. Sejak saat itu dendam Nyoman Rai Srimben
tidak terbendung, dimanapun berada jika melihat orang Belanda ia
memperlihatkan ketidaksukaannya. Di saat yang sama rumahnya di Blitar diawasi
karena putranya melawan penjajahan Belanda. Nyoman Rai Srimben menceritakan
kejadian yang dialaminya di rumah tahanan sehingga akhirnya R. Soekeni
memutuskan untuk pensiun dini sebagai guru dari Kementerian Pendidikan
Belanda di Batavia. Memasuki masa pensiun Nyoman Rai Srimben terus
mendampingi suaminya di Blitar sambil tetap menunggu surat, berita Koran atau
berita burung yang dibawa saudara atau kenalannya tentang putranya Soekarno
baik di dalam maupun di luar tahanan. Kehidupan di Blitar kembali bergemuruh
ketika Nyoman Rai Srimben mendengar bahwa putranya bercerai dari Inggit dan
kemudian menikah dengan Fatmawati, semua beritanya diterima dengan tabah.
Hasil pernikahan Soekarno dengan Fatmawati memberikan seorang cucu yang
sangat diharapkan oleh Nyoman Rai Srimben dan R. Soekeni. Nyoman Rai Srimben
dan R. Soekeni menyaksikan kelahiran cucunya di Jakarta. Kebahagiaan Nyoman
Rai Srimben tidaklah lama karena pada saat berjalan-jalan di Jakarta R.
Soekeni terjatuh dan sakit keras hingga akhirnya meninggal pada tanggal 8 Mei
1945. Kemudian Nyoman Rai Srimben kembali ke Blitar. Di hari tuanya ketika
Soekarno telah menjadi “orang pertama” di Republik Indonesia, Nyoman Rai
Srimben tidak pernah mau menginjakkan kakinya di Istana Negara. Nyoman Rai
Srimben menjadi pelopor perkawinan campur antar suku, sehingga mungkin
memberikan inspirasi kepada Soekarno untuk menyatukan Nusantara menjadi
Republik Indonesia. Pada tanggal 12 September 1958, Nyoman Rai Srimben
meninggal dunia dan dimakamkan berdampingan dengan makan putranya Soekarno
dan suaminya R. Soekeni Sosrodihardjo.
sumber:http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id |
|
sang jendral
|
0 komentar:
Posting Komentar