*Sosok dr. Poch yang Misterius
TEKA-TEKI kematian diktator Jerman Adolf
Hitler, kembali jadi perbincangan hangat. Koran The Daily Telegraph pada
28 September 2009 menurunkan satu laporan, tengkorak yang selama ini
diduga milik Hitler dan disimpan di Rusia ternyata, bukanlah tengkorak
tokoh tersebut. Dalam Program History Channel Documentary, koran yang
terbit di Inggris itu menjelaskan, tengkorak tersebut merupakan
tengkorak perempuan yang meninggal di bawah usia 40 tahun.
Dengan informasi ini, semakin terbuka
munculnya spekulasi seputar kematian tokoh Perang Dunia II tersebut.
Selama ini, sebagian masyarakat dunia meyakini pemimpin Nazi
(Nationalsozialismus) Jerman tersebut, tewas bunuh diri di salah satu
bunker di Berlin pada 30 April 1945 bersama kekasihnya Eva Braun. Ketika
itu usia Hitler 56 tahun.
Sebagian lagi beranggapan, Hitler
berhasil melarikan diri bersama Eva Braun, kemudian menghabiskan masa
tuanya di Brasil, Argentina, atau wilayah lainnya di Amerika Selatan.
Masing-masing pihak mengemukakan berbagai argumen yang memperkuat dugaan
mereka. Sejumlah dokumen diungkapkan dan para saksi pun berbicara.
Selain versi yang sudah lama dikenal
dunia, terdapat versi Indonesia yang boleh jadi merupakan versi terbaru.
Dalam versi itu dijelaskan tentang kemungkinan Hitler melarikan diri ke
Indonesia dan meninggal di Surabaya. Dugaan ini didasarkan pada
penuturan seorang dokter warga Bandung, Sosrohusodo.
Sosro adalah dokter lulusan Universitas
Indonesia. Dia menuliskan pendapatnya pada satu artikel di Pikiran
Rakyat pada 1983. Kemudian pada 1994 saya bertemu dengan Sosrohusodo.
Hasil wawancara itu dimuat Pikiran Rakyat pada 24 Februari 1994 dalam
bentuk artikel yang cukup panjang. Artikel itulah yang kemudian
wara-wiri di dunia maya belakangan ini.
Pertemuan dengan Sosrohusodo ketika itu dilakukan atas permintaannya. “Saya
ini sudah tua. Akan tetapi, saya masih memiliki satu beban besar yang
hingga kini belum terungkap, yaitu mengenai diktator Jerman Adolf
Hitler,” katanya, saat berbincang di rumahnya Jln. Setiabudhi
seberang kampus UPI Bandung. Rumahnya tidak begitu besar, tetapi
halamannya cukup luas. Raut gelisah terlihat di wajah Sosrohusodo.
Dia pun memperlihatkan setumpuk dokumen
yang tampak lusuh. Diikat dengan beberapa belit benang. Antara lain
berisi foto-foto lama, yang memperlihatkan seorang lelaki dan perempuan
bule warga negara Jerman, paspor, dan buku harian dengan tulisan steno.
Terdapat pula foto seorang wanita Sunda, yang disebutnya sebagai sumber
amat penting dan memperkuat teorinya itu.
Lelaki dalam foto-foto itu bernama dr.
Poch, pemimpin salah satu rumah sakit umum di Pulau Sumbawa Besar. Sosro
sempat bertemu langsung beberapa kali dengan Poch, saat bertugas
sebagai tenaga kesehatan di kapal Hope yang dijadikan rumah sakit pada
1960.
“Melalui perbincangan tentang masa
lalunya dan ciri-ciri fisik, saya semakin yakin Poch bukan orang
sembarangan. Saya curiga dialah Adolf Hitler yang misterius itu.
Apalagi, dia ditemani seorang perempuan yang menurut saya wajahnya mirip
Eva Braun, kekasihnya. Akan tetapi, keyakinan ini saya pendam sangat
lama. Hingga saya selesai bertugas di kapal Hope, rasa penasaran itu
belum terjawab,” kata pria kelahiran Gundih Jawa Tengah, yang saat itu berusia 63 tahun.
*Kaki Kiri dr. Poch tidak Normal
Keyakinan dan sekaligus rasa penasaran
Sosrohusodo muncul kembali, setelah lebih dari dua puluh tahun kemudian
dia menemukan informasi-informasi baru. Maka dia pun melakukan
rekonstruksi pengalamannya, membuka kembali catatan-catatan, dan
menuangkannya dalam bentuk tulisan. Sosro benar-benar tertantang untuk
mengungkap misteri dr. Poch. Saat itu, dia memperlihatkan sejumlah
tulisan yang dibuatnya seperti diktat.
Kaki yang Diseret
Dari perjumpaannya dengan Poch, Sosro
mengetahui kaki kiri dokter tersebut tidak normal. Jika berjalan harus
diseret. Sementara tangan kirinya selalu gemetar. Kumisnya dipotong
pendek dan hanya tersisa di tengah. Persis seperti yang ditirukan
komedian terkenal Charlie Chaplin. Tidak tersisa rambut di kepalanya
alias plontos.
Jika benar Poch adalah Hitler, pada saat
bertemu Sosro dia berusia 71 tahun. Sebab, Hitler lahir pada 1889. ”Saya
kira usianya seperti itu, sesuai dengan penampilan fisiknya. Saya ingat
betul kondisi fisiknya, karena bukan hanya sekali bertemu dengannya dan
berbicara tentang hal itu,” kata Sosro.
Hal lain yang membuatnya heran, ternyata
Poch tidak memiliki ijazah kedokteran, tidak memiliki lisensi apa pun di
bidang kesehatan. Akan tetapi, ternyata dia bisa memimpin satu rumah
sakit. Sehari-hari Poch sering membungkus tubuhnya dengan seragam putih,
pakaian khas dunia kedokteran. Sebagai seorang dokter, Sosro pernah
memancing Poch dengan percakapan soal kesehatan.
“Poch ternyata tidak menguasai dunia
medis, saya tahu itu. Dari pembicaraannya, dia tidak mengerti soal
kedokteran. Ini makin misterius saja. Lalu siapa yang mengangkatnya
menjadi pemimpin rumah sakit tersebut. Tentu tidak sembarang orang bisa
menjadi pimpinan salah satu lembaga penting seperti itu,” kata Sosro.
Pada satu kesempatan berkunjung ke
kediaman Poch, banyak hal dikemukakan dokter tua tersebut yang justru
memperkuat dugaan Sosro. Misalnya saat ditanya tentang pemerintahan
Hitler, Poch secara terang-terangan memujinya. Dia juga menolak anggapan
terjadinya pembantaian besar-besaran terhadap orang Yahudi di Kamp
Auschwicz. Padahal, dalam sejarah dunia kamp yang satu ini merupakan
cerita horor legendaris pada masa kejayaan Nazi.
Poch juga mengaku tidak tahu-menahu,
ketika ditanya tentang kematian Adolf Hitler pada 1945 di Berlin. Dia
hanya bercerita, keadaan saat itu benar-benar kacau-balau dan setiap
orang berusaha untuk menyelamatkan diri. Poch seperti menghindar jika
ditanya terlalu jauh soal sosok Hitler dan sepak terjang Nazi.
Hampir sepanjang perbincangan
berlangsung, lelaki tua yang gemar memotret itu mengeluhkan tentang
tangan kirinya yang gemetar. Sosro kemudian meminta izin untuk memeriksa
saraf ulnarisnya. Ternyata tidak ada kelainan. Demikian pula dengan
tenggorokannya sehat-sehat saja. Saat itu, Sosro menyimpulkan
kemungkinan “Hitler” hanya menderita parkinson, berkaitan dengan usianya
yang lanjut.
Lalu Sosro berasumsi, kemungkinan penyakit itu muncul karena trauma psikis. “Dugaan
saya langsung diiyakan Poch. Saya kaget juga. Akan tetapi, ketika saya
tanya lebih jauh sejak kapan penyakit itu menghinggapinya, Poch malah
bertanya kepada istrinya dalam bahasa Jerman. “Ini terjadi ketika Jerman kalah di pertempuran dekat Moskow. Saat itu Goebbels mengatakan bahwa kau memukuli meja berkali-kali.” ujar istrinya seperti ditirukan Sosro.
Siapa Goebbels? Apakah yang dimaksud
adalah Joseph Goebbels, wartawan yang banyak membantu gerakan Nazi dan
kemudian menjadi Menteri Propaganda pada pemerintahan Hitler? “Tidak
tahu keceplosan atau bagaimana, beberapa kali istrinya memanggil Poch
dengan sebutan ‘Dolf’. Apakah ini merupakan kependekan dari ‘Adolf’ atau
bukan, saya tidak begitu pasti. Namun, itulah yang saya dengar
langsung,” katanya.
*Tulisan di Majalah “Zaman”
PERJUMPAAN Sosrohusodo dengan “Hitler”
diwarnai berbagai kebetulan. Kebetulan pertama, ketika dia bertugas di
Kapal Hope. Kebetulan kedua terjadi pada tahun 1981. Setelah lebih dari
21 tahun, pengalaman bertemu dengan Poch terekam dalam benaknya dan
dicatat pada buku hariannya, seorang keponakannya datang berkunjung ke
Bandung dan memperlihatkan mazalah Zaman edisi No. 15 Januari 1980.
Pada majalah tersebut terdapat sebuah artikel yang ditulis Heinz Linge, bekas orang dekat Hitler, berjudul “Cerita Nyata Hari Terakhir Seorang Diktator”.
Tulisan tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Try Budi
Satria. Sambil memperlihatkan majalah Zaman, Sosro menerangkan, dalam
tulisan itu Linge menceritakan tentang peristiwa bunuh diri Hitler dan
Eva Braun. Kemudian menerangkan tentang kondisi fisik Hitler saat itu.
“Beberapa alinea dalam tulisan itu
membuat jantung saya berdetak keras, seperti menyadarkan saya kembali.
Sebab di situ ada ciri-ciri Hitler yang juga saya temukan pada diri si
dokter tua Jerman. Apalagi setelah saya membaca buku biografi Hitler.
Semuanya ada kesamaan,” ucap ayah empat anak ini.
Heinz Linge menulis, “Beberapa orang
di Jerman mengetahui bahwa Führer sejak saat itu kalau berjalan maka dia
menyeret kakinya, yaitu kaki kiri. Penglihatannya pun sudah mulai
kurang terang serta rambutnya hampir sama sekali tidak tumbuh. Kemudian,
ketika perang semakin menghebat dan Jerman mulai terdesak, Hitler mulai
menderita penyakit kejang urat“.
Di samping itu, tangan kirinya pun mulai
gemetar pada waktu kira-kira pertempuran di Stalingrad tidak membawa
keberuntungan bagi tentara Jerman, dan ia mendapat kesukaran untuk
mengatasi tangannya yang gemetar itu. Pada akhir artikel, Linge menulis,
”Tetapi aku bersyukur bahwa mayat dan kuburan Hitler tidak pernah
ditemukan”.
Semangat untuk mengungkap misteri Poch semakin menggebu di dada Sosrohusodo.
*Buku Harian Misterius tentang Kisah Pelarian Nazi
SOSROHUSODO menemukan data menarik dalam
buku harian berukuran saku milik Poch. Dalam buku lusuh tersebut
ditemukan ratusan alamat orang asing yang tinggal di berbagai negara di
dunia. Di berbagai halamannya terdapat coretan tangan yang sulit dibaca.
Di bagian lainnya terdapat tulisan steno. Semuanya berbahasa Jerman.
“Lihat ini catatannya. Buku ini
banyak berbicara dalam upaya pengungkapan sosok misterius Poch. Memang
tidak mudah, tetapi saya tertantang. Mungkin ini hanya soal waktu,” kata Sosro sambil membuka halaman-halaman buku kecil itu.
Memang tidak ada identitas jelas pemilik
buku itu. Hanya, ada beberapa kode terdiri atas angka-angka yang tidak
jelas maknanya. Pada sampul depan bagian dalam, tertulis kode J.R. KePaD
No. 35637 dan 35638, dengan masing-masing nomor ditandai lambang
biologis laki-laki dan perempuan. “Ini memperkuat dugaan saya, buku
itu milik kedua orang yang saya yakini sebagai Hitler dan Eva Braun.
Mereka menutup identitasnya rapat-rapat, tetapi tetap ada celah yang
menuntun pada kenyataan sebenarnya,” tuturnya.
Sementara nama-nama negara yang tertulis
dalam buku itu antara lain Pakistan, Tibet, Argentina, Afrika Selatan,
dan Italia. Di salah satu halamannya terdapat tulisan yang dalam bahasa
Indonesia berarti “Organisasi Pelarian. Tuan Oppenheim pengganti
Ny. Kruger. Roma Sardegna 79a/1. Ongkos-ongkos untuk perjalanan ke
Amerika Selatan (Argentina)“.
Lalu, ada satu nama dalam buku saku
tersebut yang sering disebut-sebut dalam sejarah pelarian orang-orang
Nazi, yaitu Prof. Dr. Draganowitch, atau ditulis pula Draganovic. Di
bawah nama Draganovic tertulis Delegation Argentina da Imigration Europa
– Genua Val Albaro 38. Secara terpisah, di bawahnya lagi tertera
tulisan Vatikan. Di halaman lain disebutkan, Draganovic Kroasia, Roma
via Tomacelli 132.
Sosro kemudian memperlihatkan majalah
Intisari terbitan Oktober 1983, yang memuat sosok Klaus Barbie alias
Klaus Altmann, bekas anggota polisi rahasia Jerman zaman Nazi. Di situ
tertulis satu alamat Val Albaro. Disebutkan pula bahwa Draganovic memang
memiliki hubungan dekat dengan Vatikan Roma. Profesor inilah yang
membantu pelarian Klaus Barbie dari Jerman ke Argentina. Pada 1983,
Klaus diekstradisi dari Bolivia ke Prancis, negara yang menjatuhkan
hukuman mati terhadapnya pada 1947.
“Masih banyak alamat dalam buku ini
yang belum seluruhnya saya ketahui relevansinya dengan gerakan Nazi.
Saya juga sangat berhati-hati tentang hal ini, sebab menyangkut
negara-negara lain. Saya masih harus bekerja keras menemukan semuanya.
Saya yakin kalau nama-nama yang tertera dalam buku kecil ini adalah para
pelarian Nazi,” katanya.
*Rute Pelarian Hitler Dalam Tulisan Steno
SETELAH menerima buku catatan harian dr.
Poch dari Ny. S, Sosrohusodo bingung ketika harus menerjemahkan bagian
yang ditulis dengan huruf steno. Dia bertanya ke beberapa orang yang
mengerti soal stenografi. Namun, mereka kurang paham karena model steno
itu jarang dipakai pada masa sekarang.
“Akhirnya saya menyurati penerbit
buku steno di Jerman, minta bantuan mereka. Selang beberapa waktu
kemudian datang jawaban, steno yang contohnya saya kirimkan itu
merupakan stenografi Jerman yang sudah ’kuno’. Namanya sistem
Gabelsberger dan sudah lebih dari 60 tahun tidak dipakai lagi,” tutur Sosrohusodo.
Meski demikan, pihak penerbit berjanji
akan mencarikan orang yang ahli steno Gabelsberger. Ternyata penerbit
itu menepati janjinya, dengan mengirimkan terjemahan steno itu ke dalam
bahasa Jerman. Lalu Sosro menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
Judul catatan itu kurang lebih “Keterangan Singkat tentang Pengejaran Perorangan oleh Sekutu dan Penguasa Setempat pada Tahun 1946 di Salzburg“. Salzburg adalah nama kota di Austria. Di dalam catatan itu antara lain tertulis, “Kami berdua, istri saya dan saya, pada tahun 1945 di Salzburg“.
Memang tidak secara jelas diterangkan
identitas “kami berdua” dalam catatan tersebut. Akan tetapi, yang jelas
tersirat mereka berdua berada dalam ancaman. Antara lain dikejar-kejar
oleh CIC (Dinas Rahasia AS). “Pokoknya catatan itu menggambarkan penderitaan orang yang diburu pihak keamanan,” tutur Sosrohusodo.
Selain itu, terdapat pula abjad yang
ditulis dengan huruf besar secara mencolok. Kalau diurutkan, kemungkinan
merupakan rute pelarian keduanya. Huruf-huruf itu adalah B, S, G, J, B,
S, R. Menurut Sosro, cara menyingkat tulisan seperti itu merupakan
kebiasaan Hitler dalam membuat catatan. ”Kebiasaan ini ditemukan pula
dalam literatur lain yang saya baca,” ujarnya.
Lalu dia menerjemahkan dan mengaitkannya
dengan kemungkinan rute pelarian Hitler. Kedua insan itu memulai
pelariannya dari B yang berarti Berlin, lalu S (Salzburg), G (Graz), J
(Jugoslavia), B (Beograd), S (Sarajevo), dan R (Roma). Roma, menurut
dia, sebagai kota terakhir di Eropa yang menjadi tempat pelarian kedua
orang itu. Setelah itu, mereka keluar dari benua tersebut menuju sebuah
tempat bernama Pulau Sumbawa.
Sosro membacakan hasil terjemahan dari
catatan harian itu, ”Pada hari pertama di bulan Desember, kami harus
pergi ke R untuk menerima surat paspor yang kemudian berhasil membawa
kami meninggalkan Eropa”. Keterangan ini sesuai dengan data pada paspor
dr. Poch yang menyebutkan, paspor bernomor 2624/51 diberikan di Rom
(tanpa huruf akhir a). Pada catatan buku itu nama Dragnovic dikaitkan
dengan Roma.
Sosro kembali memperlihatkan majalah
Zaman edisi 14 Mei 1984 ketika membahas tentang Berlin dan Salzburg.
Menurut dia, sejarah mencatat peristiwa jatuhnya pesawat yang membawa
surat-surat rahasia Hitler di sekitar Jerman Timur tahun 1945. Kenyataan
ini menjadi petunjuk tentang rute pelarian mereka.
*Makam G.A. Poch di Ngagel Utara, Surabaya
Tentang pelarian Hitler, Sosrohusodo
menyimpan kisah yang didengar dari masyarakat tempatnya bertugas di
Sumbawa. Masyarakat di sana bercerita, pada suatu ketika mereka melihat
munculnya kapal selam dari laut yang disusul dengan pendaratan sebuah
wahana yang berbentuk bulat.
“Saya mendengar cerita ini dari mulut
ke mulut. Saya jadi bertanya-tanya, apakah ini ada kaitan dengan
kemungkinan larinya Hitler menggunakan kapal selam dari Eropa ke
perairan Sumbawa? Tidak begitu jelas. Tapi juga bukan sesuatu yang tidak
mungkin,” katanya.
Sosro sangat yakin, orang sebesar dan
sepenting Hitler memiliki pengikut setia. Mustahil jika mereka tidak
memiliki strategi penyelamatan atas pimpinan tertingginya. Apalagi
kemudian diketahui beberapa dugaan terdahulu tentang akhir hidup Hitler,
belum ada satu pun yang pasti.
“Jadi, bukan sesuatu yang tidak
mungkin jika pengikutnya memilih Pulau Sumbawa di Indonesia. Sebab saat
itu Indonesia boleh dibilang sebagai wilayah yang masih terbuka untuk
dijadikan tempat persembunyian. Lokasi Pulau Sumbawa juga begitu jauh
dari Benua Eropa,” ujarnya beralasan.
Sosro pun bercerita tentang pengakuan
Nyonya S berkaitan dengan hal itu. Suatu hari suaminya mencukur kumisnya
mirip dengan kumis Hitler, kemudian S mempertanyakan kemiripan kumisnya
itu dengan kumis Hitler. Poch malah mengiyakan bahwa dirinya adalah
Hitler. “Tapi jangan bilang sama siapa-siapa,” begitu Sosro mengutip ucapan Nyonya S.
Sosrohusodo mungkin termasuk orang yang
teguh memegang amanah. Hal itu terbukti ketika dia menutup rapat-rapat
kepanjangan nama Nyonya S. Dia hanya memberi pintu masuk menuju
identitas lengkapnya dalam bentuk foto-foto dan nama tempat Babakan
Ciamis.
Setidaknya terdapat dua foto yang
menunjukkan hubungan suami istri antara Ny. S dan Poch. Foto yang dibuat
di Sumbawa itu disebut Sosro sebagai foto saat keduanya melangsungkan
pernikahan di pendopo kabupaten. Penggunaan pendopo sebagai tempat
hajatan menunjukkan posisi Poch yang dihormati di kalangan masyarakat
setempat.
Pada foto itu terlihat Poch sudah semakin
tua, bersetelan jas yang agak kebesaran, kemeja putih berdasi, dan
berkacamata. Sementara S mengenakan kebaya putih, berkain batik, dan
sanggul beruntai bunga yang jatuh di dada kanannya. Tangan kanannya
memegang kipas. Mereka diabadikan dalam posisi berdiri.
Sementara pada foto yang satu lagi, Poch
dan S duduk di kursi. Sementara di belakang mereka berdiri tiga pria.
Jika senyum tampak tersungging di bibir S, maka di kedua foto itu wajah
Poch begitu dingin. Menjelang pernikahan itulah, kata Sosro, konon Poch
pindah agama menjadi seorang Muslim. Dia berganti nama menjadi
Djamaluddin. Kemudian mereka pindah ke Surabaya.
Namun nama barunya sebagai seorang mualaf
itu tampaknya tidak digunakan. Hal itu bisa dilihat pada makam Poch di
Pemakaman Umum Ngagel Utara, Jalan Bung Tomo, Surabaya. Pada batu
nisannya tertulis nama G. A. Poch. Belakangan saya baru tahu G.A. adalah
kependekan dari Georg (tanpa ”e”) Anton.
Sumber: http://ntpshipz.wordpress.com
Sumber: http://ntpshipz.wordpress.com
sang jendral