Pada tahun 1980-an suasana kota Yogyakarta tiba-tiba berubah menjadi
mencekam. Para preman yang selama dikenal sebagai gabungan anak liar
(gali) dan menguasai berbagai wilayah operasi tiba-tiba diburu tim
Operasi Pemberantasan Kejahatan (OM) yang kemudiart dikenal sebagai
penembak misterius (Petrus). Ketika melakukan aksinya tak jarang suara
letusan senjata para penembak misterius terdengar oleh masyarakat
sehingga suasana tambah mencekam. Mayat para korban penembakan atau
pembunuhan misterius itu urnurnnya mengalami luka di kepala serta leher
dan dibuang di lokasi yang mudah ditemukan penduduk. Ketika ditemukan,
mayat biasanya langsung dikerumuni penduduk dan menjadi head line media
massa yang terbit di Yogyakarta.
Berita tentang terbunuh-nya para tokoh gali itu sontak menjadi heboh
dan menjadi bahan pembicaraan di semua wilayah DIY hingga ke
pelosok-pelosok kampung. Meskipun merupakan pembunuhan misterius, hampir
semua penduduk Yogyakarta saat itu paham bahwa pelaku atau eksekutornya
adalah aparat militer dan sasarannya adalah para gali terkenal. Disebut
sebagai gali terkenal karena tokoh di dunia kejahatan itu secara
terang-terangan menguasai satu lokasi, memungut uang dari lokasi yang
menjadi kekuasaannya, bisa seenak hati menganiaya orang yang dianggap
melawan, merampok atau melakukan kejahatan lainnya secara
terang-terangan, dan kadang-kadang polisi setempat tidak berani
bertindak karena pengaruh si tokoh gali demilcian besar. Terbunuhnya
para tokoh gali secara misterius sebenarnya membuat warga senang tapi
para gali yang hanya memakai status itu sebagai ajang gagah-gagahan
menjadi sangat ketakutan.
Aparat keamanan di Yogyakarta memang mengakui bahwa pihaknya sedang
melakukan OPK (Operasi Penumpasan Kejahatan) terhadap para gali, tapi
siapa tim OPK yang menjalankan tugas tidak pernah diberi tahu dan hingga
kini masih tetap misterius. Aparat militer di Yogyakarta saat itu
terpaksa turun tangan untuk melakukan pembersihan mengingat tindak
kejahatan para gali sudah keterlaluan bahkan masyarakat cenderung lebih
takut terhadap para gali dibandingkan aparat kepolisian. Turunnya aparat
militer dalam operasi OPK itu diakui sendiri oleh Letkol M. Hasbi yang
saat itu menjabat sebagai komandan Kodim 0734 yang juga merangkap Kepala
Staf Garnisun Yogyakarta. Meskipun cara kerja tim OPK itu tidak pernah
diumumkan, modus operandinya mudah ditebak. Tim OPK melakukan briefing
terlebih dahulu, menentukan sasaran yang akan disikat, melaksanakan
penyergapan pada saat yang paling tepat, saat korban berhasil ditemukan
langsung ditembak mati atau dibawa ke suatu tempat dan dieksekusi. Mayat
korban yang tewas biasanya langsung dimasukkan karung atau dilempar ke
lokasi yang mudah ditemukan. Hari berikutnya tim OPK bisa dipastikan
akan mengecek hasil operasinya lewat surat kabar yang terbit hari itu
sambil memberikan penilaian terhadap kehebohan yang berlangsung di
masyarakat.
Aksi OPK melalui modus Petrus itu dengan cepat menimbulkan ketegangan
dan teror bagi para pelaku kejahatan secara nasional karena korban OPK
di kota-kota lainnya juga mulai berjatuhan. OPK yang berlangsung secara
rahasia itu secara psikologis justru merupakan tindakan menekan angka
kriminalitas yang dilaksanakan terang-terangan. Di tingkat nasional
sendiri operasi rahasia untuk menumpas para bromocorah itu malah bisa
dirunut secara jelas meskipun pelakunya tetap misterius. Pada tahun 1982
misalnya, Presiden Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro
Jaya saat itu, Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keberhasilannya
membongkar aksi perampokan yang meresahkan masyarakat. Selain mampu
membongkar aksi perampokan, Anton Soedjarwo juga dinilai sukses dalam
melancarkan aksi OPK.
Pada bulan Maret tahun yang sama pada acara khusus yang membahas
masalah pertahanan dan keamanan, Rapim ABRI, Presiden Soeharto bahkan
meminta kepada Polri (masih menjadi bagian dari ABRI) untuk mengambil
langkah pemberantasan yang efektif dalam upaya menekan angka
kriminalitas. Keseriusan Soeharto agar Polri/ ABRI menggencarkan operasi
yang efektif untuk menekan angka kriminalitas bahkan kembali diulangi
dalam pidato kenegaraan yang berlangsung pada 16 Agustus 1982. Karena
permintaan atau perintah Soeharto disampaikan pada acara kenegaraan yang
istimewa, sambutan yang dilaksanakan oleh petinggi aparat keamanan pun
sangat serius. Permintaan Soeharto itu sontak disambut oleh
Pangkopkamtib Laksamana Soedomo melalui rapat koordinasi bersama Pangdam
Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta yang
berlangsung di Markas Kodam Metro Jaya 19 Januari 1983. Dalam rapat yang
membahas tentang keamanan di ibukota itu kemudian diputuskan untuk
melaksanakan operasi untuk menumpas kejahatan bersandi Operasi Celurit
di Jakarta dan sekitarnya. Operasi Celurit itu selanjutnya diikuti oleh
Polri/ABRI di masing-masing kota serta provinsi lainnya. Para korban
Operasi Celurit pun mulai beriatuhan.
Operasi di Yogyakarta
Selama sebulan OPK di Yogyakarta, paling tidak enam tokoh peniahat
tewas terbunuh. Para korban OPK yang ditemukan tewas itu rata-rata
dengan luka tembak mematikan di kepala dan lehernva. Dua di antara
korban OPK yang berhasil diidentifikasi adalah mavat Budi alias Tentrem
(29) dan Samudi Blekok alias Black Sam (28). Mayat Budi yang dulu
ditakuti dan dikenal lewat geng Mawar Ireng-nya ditemukan dalam parit di
tepi jalan di daerah Bantul, Selatan Yogyakarta, tepat pada awal tahun
1985. Sedangkan mayat Black Sam diketemukan tergeletak di semak belukar
di kawasan Kotagede yang tidak jauh dari pusat kota Yogyakarta. Dari
cara membuang mayatnya, jelas ada semacam pesan yang ditujukan kepada
para bromocorah di Yogyakarta, agar segera menyerahkan diri atau menemui
ajal seperti rekan-rekannya. Selama OPK paling tidak ada 60 bromocorah
Yogyakarta yang menjadi korban Petrus. Sebagian besar tewas tertembak
dan beberapa di antaranya terbunuh oleh senjata tajam. Sejumlah korban
bahkan diumumkan oleh aparat keamanan tewas akibat keroyokan massa.
Salah satu korban yang diklaim aparat keamanan tewas akibat keroyokan
massa adalah bromocorah bernama Ismoyo.
Selama hidupnya Ismoyo dikenal sebagai gali elite karena lulusan
Fakultas Sosial Politik UGM dan berstatus PNS. Sebagai ketua kelompok
preman yang sering memalak angkutan kota di daerah kekuasaannya, gali
elite itu kemudian diambil oleh aparat keamanan untuk diinterogasi.
Namun, menurut versi aparat, Ismoyo mencoba lari dan kemudian tewas
dikeroyok massa. Modus menyuruh bromocorah lari lalu diteriaki maling
atau kemudian malah dihujani tembakan merupakan cara standar bagi tim
OPK untuk menuntaskan tugas membereskan buruannya. Cara lain untuk
memberikan shock therapy kepada kaum bromocorah adalah dengan menembak
korbannya puluhan kali. Cara ini diterapkan tim OPK saat menghabisi
pentolan gali Yogyakarta, Slamet Gaplek. Berdasar informasi, Slamet
konon kebal peluru. Slamet Gaplek sempat mencoba melarikan diri dengan
cara mematahkan borgol namun akhirnya tersungkur setelah diterjang lebih
dari 20 peluru di tubuhnya. Korban yang tewas dengan cara mengenaskan
itu kemudian dibuang di tempat yang mudah ditemukan sehingga esoknya
langsung menjadi berita besar di surat kabar sehinga efek shock
therapy-nya bisa berpengaruh secara maksimal.
OPK di Semarang
Operasi Pemberantasan Kejahatan yang berlangsung di Semarang (1983)
bisa menunjukkan bahwa para preman yang dahulu pernah diorganisir untuk
kepentingan politik, seperti sebagai pendukung partai politik tertentu,
ternyata tetap menjadi sasaran Petrus ketika dianggap sudah tak berguna.
Sebagai salah satu contoh adalah tokoh preman bernama Bathi Mulyono. Di
dunia hitam mantan preman yang pernah malang-melintang di Semarang ini
sudah sangat terkenal sehinga saat keluar dari penjara, Bathi langsung
menduduki jabatan ketua Yayasan Fajar Menyingsing. Organisasi massa itu
menghimpun ribuan residivis dan pemuda yang berada di kawasan Jawa
Tengah. Yayasan Fajar Menyingsing secara politik cukup berpengaruh dan
di-beking oleh para petinggi Jawa Tengah waktu itu seperti Gubernur
Supardjo Rustam, Ketua DPRD Jawa Tengah Widarto dan pengusaha Soetikno
Widjoyo. Berkat restu para elite penguasa daerah itu Bathi bisa
menjalankan bisnisnya secara lancar mulai dari jasa broker keamanan
hingga menguasai lahan parkir di wilayah Jawa Tengah. Walau mantan
bromocorah, Bathi bisa hidup makmur dan sehari-hari mengendarai mobil
jeep Toyota Hardtop.
Hubungan yang dibangun antara elite dengan para preman pun
bergerak’lebih jauh dan tidak hanya sekadar relasi bisnis belaka Para
elite politik mulai menggunakan para preman yang sudah terbiasa
berkecimpung di dunia kekerasan itu. Para preman dari Fajar Menyingsing
pun mulai digunakan sebagai kelompokkelompok milisi yang diberdayakan
pada saat musim kampanye pemilu tiba. Partai Golongan Karya (Golkar)
sebagai generator politik Orde Baru banyak menggunakan jasa para preman
untuk menggalang massa dan mengamankan jalannya kampanye. Peran Bathi
dan kawan-kawannya sebagai salah satu kelompok massa yang digunakan oleh
Golkar adalah dalam kampanye Pemilu yang berlangsung pada tahun 1982.
Tugas Bathi dan rekannya adalah memprovokasi massa Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) yang sedang berkampanye di Lapangan Banteng, Jakarta
Pusat, agar muncul kerusuhan. Insiden kekerasan pun pecah dan sejumlah
korban jatuh. Beberapa orang yang dianggap sebagai perusuh ditangkap
tapi Bathi dan sejumlah rekannya lolos. Insiden itu bahkan membuat
Presiden Soeharto marah dan menyalahkan petinggi Badan Koordinasi
Intelijen Negara (Bakin) waktu itu, All Moertopo.
Berkat perlindungan para elite politik Bathi merasa aman, bahkan
ketika OPK mulai berlangsung di kota Semarang. Namun rasa aman Bathi
mulai memudar ketika OPK yang digelar di Semarang ternyata menyasar pada
rekan-rekan dekatnya sebagai pengurus Yayasan Fajar Menyingsing.
Rekan-rekan Bathi yang kemudian hilang secara misterius dan diyakini
sebagai korban Petrus antara lain Edy Menpor dan Agus TGW. Rasa aman
Bathi benar-benar buyar pada suatu malam di bulan Juli 1983, ketika
sedang mengemudikan mobilnya melintas di Jalan Kawi, Semarang, tiba-tiba
dua motor menyalip sambil melepaskan tembakan. Dua peluru yang berhasil
menembus mobil ternyata tak mengenai tubuh Bathi. Sadar bahwa dirinya
telah menjadi target OPK, Bathi segera tancap gas melarikan diri dan
kemudian bersembunyi di Gunung Lawu. Bathi baru berani turun gunung
setelah OPK mereda. Bathi menjadi salah satu target OPK yang masih hidup
hingga kini.
Selama dalam pelariannya Bathi bahkan mengalami kejadian konyol yang
berkaitan erat dengan OPK. Suatu kali Bathi menyetop kendaraan pick up
terbuka dan kemudian duduk di antara sejumlah karung yang tergeletak di
lantai bak mobil. Sejumlah orang tampak duduk di belakang dan dalam
kondisi diam. Secara tak sengaja Bathi sempat menduduki salah satu
karung dan kemudian kaget setengah mati karena mendengar suara mengaduh
dari dalam karung itu. Bathi mulai berpikir tentang suara mengaduh dari
dalam karung dan yakin bahwa mobil pick up sedang membawa korban yang
menjadi target OPK. Bathi merasa mujur karena orangorang yang berada di
dalam pick up tak mengenali dirinya. Sebelum jati dirinya terungkap,
Bathi minta turun dan kemudian menghilang ke dalam hutan sambil sesekali
melihat pergerakan mobil pick up tersebut. Tak lama kemudian Bathi
mendengar serentetan ternbakan dan yakin para eksekutor tengah
menghabisi korbannya.
Jakarta dan kola lainnya
Korban OPK di kota Jakarta tak kalah banyak karena mayatmayat korban
pembunuhan yang ditemukan di berbagai tempat terus saja menjadi berita
suratsurat kabar dan buah bibir warga Ibukota. Mayat yang tewas dalam
kondisi kepala atau dada ditembus peluru itu memiliki tanda khusus
berupa sejumlah tato di tubuhnya. Ciri khas mayat yang ditemukan di
Jakarta adalah mengambang di dalam karung yang hanyut di sungai dan saat
dibuka korbannya pasti terikat tangannya serta memiliki tato di
tubuhnya. Penemuan mayatmayat korban OPK juga terjadi di kota-kota besar
lainnya dan fakta ini menunjukkan bahwa OPK memang dilancarkan secara
nasional. Dilihat dari para korban OPK yang ata, bisa dikatakan Operasi
Celurit untuk menumpas angka kejahatan cukup berhasil.
Dari segi jumlah, Operasi Celurit yang notabene merupakan aksi Petrus
itu, pada tahun 1983 berhasil menumbangkan 532 orang yang dituduh
sebagai pelaku kriminal. Dari semua korban yang terbunuh, 367 orang di
antaranya tewas akibat luka tembakan. Tahun 1984 korban OPK yang tewas
sebanyak 107 orang, tapi hanya 15 orang yang tewas oleh tembakan.
Sementara tahun 1985, tercatat 74 korban OPK tewas dan 28 di antaranya
tewas karena tembakan. Secara umum para korban Petrus saat ditemukan
dalam kondisi tangan dan leher terikat. Kebanyakan korban dimasukkan ke
dalam karung dan ditinggal di tepi jalan, di depan rumah, dibuang ke
sungai, hut, hutan, dan kebun. Yang pasti pelaku Petrus terkesan tidak
mau bersusah-susah membuang korbannya karena bila mudah ditemukan efek
shock therapy yang disampaikan akan lebih efektif. Sedangkan pola
pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal atau
dijemput aparat keamanan. Akibat berita yang demikian gencar mengenai
OPK yang berhasil membereskan ratusan penjahat, para petinggi negara pun
akhirnya berkomentar.
Kendati sejumlah petingi negara telah melontarkan pendapatnya, toh
Petrus yang beraksi secara rahasia itu tetap tidak tersibak misterinya.
Ketika pada 3 Mei 1983 di Jalan Sunan Kalijaga, Kebayoran Baru, Jakarta,
terdengar letusan pistol pertama disusul tumbangnya dua penjahat
Sulisno (23) dan Baginda Siregar (26) lalu disusul tewasnya Solichin di
daerah Ciputat akibat tembakan orang tak dikenal, berita yang esoknya
terpapar di surat kabar belum begitu mengejutkan massa. Tapi ketika
berita serupa hampir tiap hari muncul di seantero Jakarta dan massa
mulai membicarakan masalah penembakan misterius, Benny Moerdani sebagai
Panglima Kopkamtib seusai menghadap Presiden Soeharto lalu memberi
pernyataan kepada pers bahwa penembakan gelap yang terjadi mungkin
timbul akibat perkelahiaan antar geng bandit. “Seiauh ini belum pernah
ada perintah tembak di tempat bagi peniahat yang ditangkap” komentar
Benny. Dan tak ada seorang pun wartawan yang saat itu berani melaniutkan
pertanyaan kepada jenderal yang dikenal sangat tegas dan garang itu.
Kepala Bakin saat itu, Yoga Soegama juga memberikan pernyataan yang
bernada enteng bahwa masyarakat tak perlu mempersoalkan para penjahat
yang mati secara misterius. Tapi pernyataan yang dilontarkan man-tan
Wapres H. Adam Malik justru bertolak belakang sehingga membuat kasus
penembakan misterius tetap merupakan peristiwa serius dan harus
diperhatikan oleh pemerintah RI yang selalu menjunjung tinggi hukum.
“Jangan mentangmentang penjahat dekil langsung ditembak, bila perlu
diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi mati. Jadi syarat sebagai
negara hukum sudah terpenuhi,” kecam Adam Malik sambil menekankan,
“Setiap usaha yang bertentangan dengan hukum akan membawa negara ini
pada kehancuran.”
Tindakan tegas OPK pada akhirnya memang menyulut pro dan kontra.
Pendapat yang pro, OPK pantas diterapkan kepada target yang memang
jelas-jelas penjahat. Sebaliknya pendapat yang kontra menyatakan
keberatannya jika sasaran OPK hanya penjahatkelas ten atau mereka yang
hanya memiliki tato tapi bukan penjahat beneran. Pendapat atau komentar
yang cukup kontroversial adalah yang dikemukakan oleh Menteri Luar
Negeri Belanda, Hans van den Broek, yang secara kebetulan sedang
berkunjung ke Jakarta pada awal Januari tahun 1984. Setelah bertemu
dengan Menlu Mochtar Kusumaatmadja, Broek secara mengejutkan berharap
bahwa pembunuhan yang telah mejnakan korban jiwa sebanyak 3.000 orang
itu pada waktu mendatang diakhiri dan Indonesia juga diharapkan dapat
melaksanakan konstitusi dengan tertib hukum. Menlu Mochtar sendiri
menjawab bahwa peristiwa pembunuhan misterius itu terjadi akibat
meningkatnya angka kejahatan yang mendekati tingkat terorisme sehingga
masyarakat merasa tidak aman dan main hakim sendiri.
Atas pernyataan Menlu Belanda itu, Benny yang merasa kebakaran
jenggot sekali lagi harus tampil untuk meluruskan tuduhan tadi. Ia
kembali menegaskan bahwa pembunuhan yang terjadi karena perkelahian
antar geng. “Ada orang-orang yang mati dengan luka peluru, tetapi itu
akibat melawan petugas. Yang berbuat itu bukan pemerintah. Pembunuhan
itu bukan kebijaksanaan pemerintah,” tegasnya. Namun persoalan
penembakan itu akhirnya tidak lagi misterius meskipun para pelakunya
hingga saat ini tetap misterius dan tidak terungkap. Beberapa tahun
kemudian Presiden Soeharto justru memberikan uraian tentang latar
belakang permasalahannya.
Tindakan keamanan tersebut memang terpaksa dilakukan sesudah aksi
kejahatan yang terjadi di kota-kota besar Indonesia semakin brutal dan
makin meluas. Seperti tertulis dalam bukunya Benny Moerdani hal 512-513
Pak Harto berujar : “Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment
therapy, tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya harus dengan
kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor-dor!
Begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya mau tidak mau harus
ditembak. Karena melawan, maka mereka ditembak. Lalu ada yang mayatnya
ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan.
Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada
yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa
menumpas semua kejahatan yang sudah melampui batas perikemanusiaan.
Maka kemudian redalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu”.
1komentar:
nice info pak ..
Posting Komentar